Home

Selasa, 10 Januari 2012

Perfilman di Indonesia

1.Sinopsis Sejarah Perfilman Indonesia
    Bermula dari penemuan proyektor kemudian berkembang menjadi sinematografi yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa. Pada tahun 1920an hanya kaum Eropa yang bisa menyaksikan film di Indonesia, setelah ada kebijakan barulah kaum pribumi mendapat kesempatan. Film-filmnya berasal dari Prancis dan Amerika yang meliputi film dokumenter yang semuanya bisu dan pembuatan film dilakukan oleh orang Eropa yang dibiayai oleh lembaga kolonial. Tidak ketinggalan orang-orang Cina pun juga mencoba untuk membuat film. Tahun-tahun berikutnya kaum pribumi mulai terlibat dalam industri perfilman baik sebagai pemain maupun kru yang tidak lagi bisu dan filmnya bersifat sinetronial dan dapat dikatakan ini adalah masa keemasan. Pemerintah Belanda kemudian membentuk Badan Sensor Film untuk memantau perkembangan perfilman karena curiga jika film digunakan sebagai alat untuk merdeka. Para seniman mendapat kritikkan dimana film dilihat asal menghibur masyarakat yang akhirnya mendapat respon politik dan lahirlah Serikat Artis Indonesia. Seiring penyerahan Jepang, terjadilah perubahan terhadap perfilman yang dijadikan sebagai alat propaganda dan Jepang  melakukan penutupan semua studio yang ada sampai penyitaan peralatan kemudian membuat studio sendiri. Suasana politik yang seperti ini membuat perfilman menjadi berantakan dan timbul kesadaran pada kaum pribumi bahwa film dapat dianggap sebagai media perjuangan yang tidak hanya menghibur tetapi juga berkualitas.
      Saat Indonesia merdeka munculah para seniman yang membentuk organisasi atau perkumpulan yang lebih memprioritaskan pada kebudayaan. Di Yogyakarta dibangun sekolah film oleh tokoh-tokoh dan menghasilkan sebuah film dimana pada saat itu Yogyakarta adalah pusat pemerintahan Indonesia sementara. Kerjasama antara wartawan dan PERSARI melahirkan film yang berjudul”Darah dan Doa” pada tanggal 30 Maret 1950 kemudian dijadikan sebagai Hari Film Indonesia. Proses berikutnya ada unsur idealistik dalam perfilman nasional yang lebih menampilkan identitas bangsa, namun kenyataannya sangat berlawanan. Keadaan seperti itu membuat para seniman membentuk Persatuan Perusahaan Film Indonesia dan kemudian digelar Festival Film Indonesia untuk pertama kalinya yang hasilnya membuat kontroversi banyak pihak. Seiring dengan permasalahan tersebut ada kelompok yang menyebutkan bahwa film produksi Hollywood menyebabkan film Indonesia menjadi turun. Banyaknya unsur politik membuat FFI selanjutnya gagal digelar, setelah beberapa tahun kemudian baru dapat diselenggarakan kembali FFI ke-2. Era 70-80an politik pemerintah banyak sekali yang berhubungan dengan para tokoh perfilman sehingga perfilman Indonesia mencapai kejayaan dengan banyak memproduksi film tiap tahunnya karena selain mendapat dukungan, juga di fasilitasi oleh pemerintah. Saat Orde Baru yang dominan pada kekuasaan pemerintah dan gerakan nasional membuat perfilman menjadi lumpuh. Tahun 2000 film bangkit kembali didukung oleh generasi-generasi muda yang lebih kreatif dan perkembangan teknologi. Tahun 2004 FFI kembali digelar namun keputusan dari juri dibatalkan oleh Badan Pertimbangan Perfilman Nasional yang membuat para penerima Piala Citra mengembalikan penghargaan tersebut. Hingga saat ini film nasional masih didominasi oleh generasi baru yang muncul pada tahun 2000 yang membuat film bergenre musikal, horor, romantis dan lain-lain. Diantaranya berhasil mendapatkan penghargaan pada pada ajang festival dan acara-acara penghargaan lainnya.
2.Faktor-faktor yang melatarbelakangi pasang-surut atau naik turunnya industri perfilman Indonesia dari zaman ke zaman:
      Masyarakat Indonesia mendapatkan pengetahuan atau belajar film dari bangsa Eropa dan awalnya tidak mempunyai peralatan sendiri. Namun karena semangat dan rasa ingin tahu yang tinggi membuat orang Indonesia terus berusaha. Pembuatan film lebih ditujukan kepada bangsa Eropa, tahun 1920an kemudian adanya dukungan dari pemerintah Indonesia sendiri seperti yang terjadi di Bandung untuk melakukan kerjasama dalam pembuatan film. Pembuatan film mulai ada yang bersifat komersil disusul banyaknya orang luar negeri yang ikut meramaikan industri perfilman. Terjunnya orang-orang Indonesia ke dalam dunia film baik sebagai pemain maupun kru dan cerita film menyangkut hal-hal yang berkaitan tentang Indonesia. Munculnya artis-artis Indonesia dan wartawan. Banyak bioskop/perusahaan film pemerintah maupun swasta. Adanya campur tangan politik pemerintah seiring semakin banyaknya seniman di Indonesia dan bahkan ada yang mendirikan sekolah film sehingga terus lahir film-film Indonesia yang masih orisinil. Semakin lama ada perbedaan antara film yang mengibur dengan film yang berkualitas. Ditetapkannya Hari Film Indonesia yang jatuh pada tanggal 30 Maret 1950. Pemerintah membuat Undang-Undang Perfilman dan Badan Sensor Film. Banyaknya penyelenggaraan acara penghargaan terhadap insan perfilman membuat tokoh-tokoh semakin giat untuk berkarya, disusul para wartawan film yang mendirikan Persatuan Pers Film Indonesia. Masyarakat/seniman Indonesia menolak adanya penolakan terhadap film-film impor yang dianggap dapat menurunkan rating film-film lokal. Pada tahun 1970-1980 para seniman memasukan kesenian dan kebudayaan dalm perfilman Indonesia. Teknologi yang semakin canggih membuat film tidak lagi bisu dan berwarna. Indonesia tidak ragu menyertakan film karya anak bangsa ke Festival Film Asia/ajang yang bertaraf internasional. Tahun-tahun berikut sekitar 90-an perfilman Indonesia semakin menurun kualitasnya karena hampir semua film Indonesia bertemakan seks dan mistik yang banyak bermunculan, setelah film-film jenis itu bertahan beberapa tahun, bioskop-bioskop bangkrut di berbagai daerah. Perfilman Nasional mati suri, ditambah dengan kehilangan induk. Di tahun 2000 muncul generasi baru seperti Mira Lesmana, Riri Riza, dan Nia Dinata yang membuat film musikal dan berhasil membangkitkan kembali perfilman Indonesia disini mulai terlihat bahwa para pelaku industri pendatang baru lebih bersifat independen dan komersil. Kemudian film horor kembali mewarnai disusul sengan film romantis, itu membuktikan bahwa industri film juga menyesuaikan dengan dinamika kehidupan atau tren yang sedang berlangsung saat itu. Kemudian hadir film-film nonkomersil yang berupaya untuk menggeser film-film Hollywood. Pemerintah sendiri menempatkan perfilman nasional berada di bawah Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
3.Peluang dalam industri film terkait dengan study Manajemen Media
      Membuat film yang didasari dengan pengelolaan media yang baik seperti propaganda (mensosialisasikan hal-hal yang baik-baik) kemudian bersifat komersil dan dibuat sesuai dengan dinamika kehidupan/kebutuhan pasar. Menggunakan sumber daya, baik secara tangible maupun intangible dilanjutkan dengan strategi komunikasi melalui Above The Line dan Below The Line. Mengadakan kerjasama terhadap pihak-pihak yang berhubungan dengan industri perfilman di Indonesia misalnya kontrak kerja dan pemasangan iklan dengan tepat. Mengkondisikan permintaan konsumen dengan memaksimalkan usaha di bidang informasi. Menjalin hubungan yang baik dengan publik karena isi film dibuat sesuai dengan masanya/trendnya sehingga dapat berjalan beriringan. Memasukkan nilai-nilai tertentu pada hasil produksi. Pada intinya lebih memprioritaskan kerjasama dengan pihak lain dan menggunakan/memilih kemudian memaksimalkan sumber daya yang dapat dikelola dengan baik secara efektif dan efisien agar tujuan awal yang telah direncanakan dapat tercapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar