Home

Selasa, 10 Januari 2012

Potret Komunikasi Politik Malaysia Di Indonesia

Batik diresmikan oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) sebagai salah satu warisan budaya dunia yang berasal dari Indonesia dan dicanangkan pada tanggal 2 Oktober 2009. Di Indonesia, tanggal 2 Oktober ditetapkan sebagai Hari Batik dan semua instansi baik pemerintahan maupun swasta mengenakan baju batik sebagai salah satu pakaian seragam kerja. Hal ini dilaksanakan sebagai bentuk upaya mengangkat kembali citra perbatikkan di kancah lokal, nasional maupun internasional.

Dengan keputusan internasional tersebut, diharapkan Malaysia tidak akan mengklaim bahwa batik merupakan warisan budaya dari negaranya. Ulah Malaysia tidak hanya ini, beberapa waktu lalu Tari Kecak dari Bali, Reog Ponorogo, alat musik Angklung, lagu Rasa Sayange dan beberapa kebudayaan atau tradisi Indonesia yang lain juga dicap sebagai hasil dari budaya Malaysia, bahkan Tari Kecak dijadikan sebagai simbol negaranya pada icon Visit Malaysia.
Ada sedikitnya tiga alasan yang membuat negara Melayu ini masih sangat percaya diri untuk melakukan aneka kebijakan kontroversial, yaitu pertama, kepentingan Indonesia terhadap Malaysia yang terkait erat dengan devisa negara, yakni Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Di mata Indonesia, Malaysia masih menjadi negara utama yang dituju bagi para TKI karena letak geografis negara ini tidak sangat dekat dengan negara kita. Wilayah seperti ini sudah pasti memiliki peran politis yang luar biasa penting, sehingga mempunyai nilai yang baik dalam bidang ekonomi maupun politik bagi Indonesia dan Malaysia. Walaupun dari sini juga timbul permasalahan seperti penyiksaan dan penganiayaan yang dilakukan oleh warga Malaysia terhahadap para TKI.
Kedua, lunaknya sikap pemerintah Indonesia. Setidaknya pemberitaan di media yang sudah berkali-kali menceritakan ulah Malaysia tetap tidak menyurutkan langkah negara tersebut untuk mengusik Indonesia. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya mengemukakan bahwa permasalahan seperti ini masih bisa dibicarakan secara baik-baik melalui diplomasi antar dua negara. Pidato Presiden SBY ini ternyata juga berpengaruh terhadap pencitraannya di kancah internasional. SBY mempunyai image demokratis, moderat dan dianggap sebagai salah satu tokoh pemimpin yang mempunyai pengaruh di dunia. Keputusan presiden yang lebih mengutamakan diplomasi dalam menghadapi kasus menambah citranya sebagai sosok yang cinta damai.
            Berbeda dengan presiden, masyarakat Indonesia yang justru sudah tidak dapat mentolerir  terhadap tingkah laku Malaysia, melakukan aksi atau demo di berbagai wilayah di Indonesia, yang isinya manyatakan bahwa “Malaysia = Malingsia”, itu menandakan bahwa semua kreatifitas, budaya, karya cipta Indonesia selalu dicuri dan bahkan diakui sebagai hasil seni Malaysia.
Ketiga, kerangka pikir yang menyatakan bahwa Indonesia dengan Malaysia masih satu rumpun. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa ada ikatan mendasar antara Indonesia dengan Malaysia, yaitu sama-sama negara berbangsa Melayu yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Faktor inilah yang mendorong solidaritas kedua bangsa menjadi erat dan sulit membedakan antara pengaruh negatif maupun pengaruh positif yang tercipta.
Kondisi yang terfragmentasi seperti ini membuat Malaysia semakin berani melakukan aneka aksi tidak simpatiknya terhadap Indonesia. Bangsa Indonesia sendiri menganggap bahwa harga dirinya telah terinjak-injak, namun pemerintah seolah tidak mampu berbuat apa-apa.
Hubungan Indonesia – Malaysia semakin memanas terkait dengan ulah Malaysia dalam kasus penangkapan petugas Dinas Kelautan dan Perikanan oleh pihak Malaysia serta mencuatnya kembali kasus perebutan Pulau Ambalat. Banyaknya kasus yang terjadi membuat masyarakat hampir di tiap daerah Indonesia melakukan demo atas ulah Malaysia yang dianggap berlebihan tersebut. Indonesia sebagai negara demokrasi seharusnya tidak mengabaikan begitu saja aksi dan partisipasi ini, namun lunaknya pemerintahan membuat fungsi komunikasi politik menjadi tidak efektif.
Pandangan yang berbeda antara pemerintah Indonesia dan masyarakat dalam menyikapi kasus Indonesia – Malaysia, dapat menimbulkan konflik. Hal ini diperkuat dengan pernyataan (Budiardjo,2008:15), bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya perbaikan hubungan antar kedua negara dan tanggapan masyarakat yang berbeda, dapat menimbulkan konflik karena nilai-nilai (baik yang materiil maupun yang mental) yang dikejar biasanya langka sifatnya. Di pihak lain, di negara demokrasi, kegiatan ini juga memerlukan kerjasama karena kehidupan manusia bersifat kolektif. Dalam rangka ini politik pada dasarnya dapat dilihat sebagai usaha penyelesaian konflik (conflict resolution) atau konsensus (consensus).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa dalam kegiatan yang bersifat politik memerlukan kerjasama yang baik antara masyarakat dengan pemerintah (internal), dan antara pemerintah negara yang satu dengan pemerintah negara yang lain (eksternal) untuk menyelesaikan konflik yang ada. Memang pemerintah Indonesia sudah melakukan beberapa usaha dan pendekatan untuk mengkonfirmasi kasus-kasus yang beredar luas ini salah satunya melalui Duta Besar Indonesia untuk Malaysia yaitu Da’i Bachtiar, namun bagi bangsa Indonesia hal ini dirasa masih belum cukup.
Implikasi Politik
            Analisa tentang hubungan Indonesia dengan Malaysia mempunyai pengaruh terhadap kehidupan politik. Di sini peran media sangat kuat dalam pembentukan opini publik yang pada praktiknya peran komunikasi dalam kehidupan politik mempunyai pengaruh yang luas karena mengintegrasikan media dan publisitas dengan kepentingan tertentu selama pemerintahan berlangsung. Pada batasnya komunikasi politik menunjukkan segenap komunikasi yang isi pesannya memiliki tujuan politik.
            Komunikasi politik adalah “ruang tempat saling bertukarnya wacana-wacana kontradiktif dari ketiga pelaku yang memiliki legitimasi untuk mengekspresikan diri secara terbuka tentang politik, dan ketiga pelaku itu adalah para politisi, wartawan dan opini publik melalui penelitian (angket)” (Dominique,2007:322). Pernyataan tersebut memberikan definisi bahwa adanya penekanan pada pemikiran tentang interaksi wacana yang dianut oleh para pelaku yang tidak memiliki status atau legitimasi yang sama, namun posisi mereka masing-masing dalam ruang publik dan pada realitasnya membentuk syarat berfungsinya demokrasi massa.
            Implikasi yang paling rentan dari kasus di atas adalah gelombang anti Malaysia dari masyarakat Indonesia yang akan diikuti dengan semakin tegasnya perbedaan antara yang pro, kontra atau bahkan yang tidak peduli terhadap ulah Malaysia. Nampaknya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) belum menunjukkan langkah kongkrit yang signifikan selain pernyataan-pernyataan bernada diplomasi untuk menjaga citranya sebagai lembaga perdamaian dunia.
Entah ulah apa lagi yang akan dibuat oleh Malaysia, yang diharapkan dari bangsa Indonesia hanyalah permintaan maaf dan permintaan untuk tidak terus bersikap “plagiat” dari pihak Malaysia, tujuannya adalah agar tidak terjadi lagi perselisihan, pertanyaan yang muncul adalah “apakah mungkin Malaysia tidak akan lagi berulah?”. Seperti pernyataan yang dikemukakan oleh (Dominique,2007:323), Hal yang lebih penting adalah komunikasi antar dua negara ini tetap berjalan baik karena “Komunikasi politik tetap menjadi “motor” dari ruang publik”.
            Peran media yang sangat berpengaruh dalam pembentukan opini publik diharapkan dapat membantu memaparkan kondisi dan situasi yang tengah berlangsung secara baik, sehingga tidak menimbulkan prasangka terus menerus dan akhirnya berdampak pada sistem politik di negara kita yang pada akhirnya dapat melibatkan negara lain. Pemberitaan yang dihasilkan media mempunyai fungsi sebagai pengontrol sehingga dapat memberikan kritik atau masukkan terhadap sikap-sikap yang diambil oleh tokoh-tokoh politik dalam pemerintahan.


2 komentar:

  1. Warisan leluhur harus tetap dibuat, dikreasikan, dan ditransformasikan agar tdk punah... biar ga da yang nge-klaim. hehe

    BalasHapus
  2. iy mas seharusnya begitu, tetapi kalau dilihat, muncul konflik dulu baru ad reaksi dari masyarakat.. makasih atas komentarnyaa.. :)

    BalasHapus